Jumat, 21 September 2018

Konstituante Gagal dalam Menyusun Undang - Undang Baru

Pada Pemilu 1955 didapatkan hasil empat partai terbesar yang memenangkan pemilihan konstituante dan DPR yaitu PNI, Masyumi, NU dan PKI. Setelah Pemilu 1955, kabinet Burhanudin Harahap selaku pemimpin kabinet yang melaksanakan program kerjanya, menyerahkan kedaulatannya kepada Soekarno untuk membuat kabinet baru. Kemudian pada tanggal 24 Maret 1966, ditunjuklah Ali Sastroamidjojo  untuk membentuk kabinet pada tanggal 24 Maret 1956 berdasarkan perimbangan partai - partai di parlemen. Kabinet ini tidak bertahan lama karena adanya oposisi dari daerah luar Jawa dengan alasan bahwa pemerintah mengabaikan pembangunan daerah di luar Jawa.

Pada bulan Februari 1957, Soekarno memanggil pejabat sipil, militer dan pejabat partai ke Istana Merdeka. Dalam pertemuan tersebut, Soekarno mengajukan konsepsi yang berisi :

  • Pembentukan Kabinet Gotong Royong yang terdiri atas wakil - wakil dari semua partai ditambah dengan golongan fungsional
  • Pembentukan Dewan Nasional (pada perkembangannya berubah nama menjadi Dewan Pertimbangan Agung) yang beranggotakan wakil - wakil partai dan golongan fungsional dalam masyarakat. Fungsi dewan ini yaitu memberi nasehat kepada kabinet baik diminta maupun tidak.
 Konsep ini kemudian ditolak oleh beberapa partai diantaranya Masyumi, NU, PSII, Partai Katholik dan PRI. Mereka berpendapat bahwa perubahan susunan ketatanegaraan secara radikal harus diserahkan kepada konstituante. Suhu politik kemudian memanas antara yang pro dan kontra atas usulan Soekarno tersebut. Pada peringatan Sumpah Pemuda tahun 1957, Soekarno menyatakan kesulitan negara dikarenakan banyaknya partai yang berdiri yang menyebabkan rusaknya persatuan dan kesatuan negara. Sehingga sebaiknya partai - partai politik dibubarkan.

Selanjutnya, dengan alasan menyelamatkan negara, Soekarno mengajukan konsepsi Demokrasi Terpimpin. Untuk sementara usulan ini terabaikan karena adanya hal yang lebih penting yaitu pemberontakan PRRI-Permesta. Setelah pemberontakan dapat diredam, masalah politik muncul kembali. Masalah semakin serius ketika konstituante gagal membuat dan menetapkan konstitusi baru. Kegagalan tersebut dikarenakan partai - partai yang menjadi wakil dalam lembaga konstituante lebih mementingkan kepentingan partainya sendiri - sendiri dalam penyusunan aturan yang diajukan.

Permasalahan utama konstituante adalah tentang penetapan dasar negara. Sebagian kelompok menghendaki Pancasila sebagai dasar negara sedangkan kelompok lain menghendaki Islam sebagai dasar negara. Dalam mengatasi kemacetan ini, kemudian muncul gagasan untuk kembali ke UUD 1945 dari kalangan ABRI. Dengan dikembalikannya ke UUD 1945, maka kekacauan atas pijakan negara dapat terselesaikan. Berbagai partai politik setuju dengan hal ini. Kemudian pada 19 Februari 1959, Kabinet menerima gagasan kembali ke UUD 1945.

Pada tanggal 22 April 1959, Soekarno menyampaikan anjuran pemerintah supaya konstituante menetapkan UUD 1945 menjadi konstitusi Republik Indonesia. Atas hal tersebut, konstituante kemudian membuat sebuah pemungutan suara yang dilakukan selama tiga kali dengan hasil suara yang setuju lebih banyak daripada yang menolak kembali ke UUD 1945, namun yang hadir kurang dari dua pertiga yang berarti tidak mencapai quorum (batas minimal pemungutan suara).

Dengan kegagalan pembuatan konstitusi baru oleh konstituante, maka sebagian anggota memutuskan tidak menghadiri sidang konstituante lagi. Disisi lain sejak tanggal 3 Juni 1959, Demokrasi Terpimpin diawali dengan dicetuskannya anjuran dari Soekarno untuk kembali ke UUD 1945 menggantikan UUDS yang dianggap tidak cocok untuk Indonesia. Namun usulan tersebut banyak menuai pro dan kontra dikalangan konstituante selaku lembaga yang membuat undang - undang.

 Sebagai reaksi dari usulan Soekarno, maka konstituante membentuk suatu pemungutan suara dadakan yang diikuti seluruh anggota konstituante. Pemungutan suara terebut dilakukan untuk meredam konflik antara pro dan kontra atas usulan Soekarno. Kegagalan konstituante dalam menentukan sikap menunjukkan bahwa partai yang ikut dalam konstituante masih mengabdi pada partainya bukan pada negara. Hal tersebutlah yang membuktikan ketidakmampuan konstituante dalam membuat konstitusi baru menggantikan UUDS 1950.

Sementara itu sejak 3 Juni 1959, konstituante memasuki masa reses dan ternyata termasuk dalam masa reses terakhir. Pada saat itu pula Penguasa Perang Pusat mengeluarkan peraturan Nomor : PRT/PERPU/040/1959 yang melarang adanya kegiatan politik. Berbagai partai dan ABRI mendukung usul untuk kembali ke UUD 1945.


Hasil gambar untuk PEMILU

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berakhirnya Demokrasi Terpimpin

Berakhirnya Demokrasi terpimpin tidak terlepas dari permasalahan peristiwa kudeta G30SPKI. Peristiwa tersebut dianggap sebagai percobaan kud...