Jumat, 21 September 2018

Berakhirnya Demokrasi Terpimpin

Berakhirnya Demokrasi terpimpin tidak terlepas dari permasalahan peristiwa kudeta G30SPKI. Peristiwa tersebut dianggap sebagai percobaan kudeta para gologan kontra revolusioner yang menamakan dirinya Gerakan 30 September. Tindakan yang diambil Soekarno pada tanggal 30 September 1965 hingga 1967 dianggap sebagai kudeta merangkak (creeping coup). Proses kudeta tidak berlangsung menghantam, melainkan secara perlahan. Bahkan selama kekuasaannya beralih, Soekarno masih berstatus sebagai presiden. Terjadilah dualisme kepemimpinan dalam waktu peralian presiden Soekarno ke Soeharto. 

Peristiwa G30SPKI menjadi titik awal keruntuhan Soekarno. Peristiwa ini masih menjadi misteri yang harus dipertanggungjawabkan, namun titik awal inilah yang kemudian menjadi latar belakang jatuhnya pamor Soekarno sejak 1965 - 1967. Turunnya Soekarno kemudian melahirkan suatu pemerintahan yang memiliki semangat menegakkan Pancasila dan melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Tekad inilah yang kemudian disebut masa Orde Baru dibawah kepemimpinan Soeharto.  

Peralihan kekuasaan terlihat jelas pada penyerahan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar/SP 11 Maret) 1966 yang benar - benar dimanfaatkan Soeharto sebagai pengemban surat sakti dengan mengambil alih kebijakan dan keputusan politik seperti pembubaran PKI dan ormas - ormasnya. Padahal pada dictum supersemar sendiri lebih menekankan pada penyerahan kekuasaan militer (dalam artian pengamanan jalannya pemerintahan) dan bukan penyerahan kekuasaan politik. Supersemar bukanlah transfer of authority (pengalihan kekuasaan). Hal ini yang kemudian mengindikasikan adanya kudeta dari Soeharto.

Klimaks ini berujung pada sidang Istimewa MPRS pada tanggal 23 Februari 1967 yang secara resmi dilakukan penyerahan pemerintahan kepada pengemban Supersemar. Sehubungan dengan hal tersebut, maka pada tanggal 7-12 Maret 1967, dilakukan sidang MPRS yang memutuskan :

  1. Pidato Nawaksara beserta pelengkapnya tidak memenui harapan rakyat dikarenakan tidak secara jelas mengenai pembentukan Gerakan 30 September.
  2. Presiden telah menyerahkan kekuasaan kepada pengemban Supersemar.
  3. Presiden telah melakukan kebijakan secara tidak langsung menguntungkan bagi Gerakan 30 September
 Kemudian, pada 12 Maret 1967, Soeharto akhirnya diambil sumpah dan dilantik sebagai presiden Republik Indonesia yang kedua berdasarkan ketetapan MPR No. XXXIII/MPRS/1967.

Hasil gambar untuk SOEKARNO

Pengaruh Dekrit Presiden

Setelah berlakunya UUD 1945 sebagai dasar dari Demokrasi terpimpin. Ternyata harapan ini akhirnya hilang karena UUD 1945 tidak dilaksanakan secara konsekuen. UUD 1945 yang dianggap sebagai dasar dari hukum konstitusional hanyalah slogan - slogan kosong belaka. Hal ini terlihat jelas dari penyelewengan - penyelewengan yang dilakukan presiden. Diantaranya :
  • Prosedur pembentukan DPRGR dan MPRS
  • Anggota MPRS ditunjuk dan diangkat oleh Presiden
  • Membubarkan DPR hasil Pemilu 1955
  • Menjadikan kedudukan pemimpin lembaga tertinggi dan lembaga Negara sebagai menteri yang berarti sebagai pembantu Presiden GBHN yang bersumber dari pidato tanggal 17 Agustus 1959 yang berjudul “penemuan kembali revolusi kita” dijadikan GBHN ditetapkan oleh DPA bukan MPRS
  • Pengangkatan Presiden seumur hidup
  • Pemberlakuan NASAKOM

Hasil gambar untuk PENGARUH DEKRIT PRESIDEN

Diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959

Hingga tahun 1959, konstituante tidak pernah menghasilkan undang - undang baru sebagai ganti dari UUDS 1950. Bahkan partai - partai yang menjadi bagian dari konstituante selalu menghalalkan segala cara agar tujuan partainya tercapai melalui kebijakan pembuatan undang - undang. Oleh sebab itulah kondisi politik sejak 1956 semakin kacau dan memburuk.

Keadaan ini semakin bertambah kacau dan mengancam keutuhan bangsa dan negara. Rakyat bereaksi dari kondisi ini dengan memaksa pemerintah mengambil tindakan tegas untuk mengatasi kemacetan sidang Konstituante yang tidak bisa diharapkan lagi. Untuk mengatasi situasi yang tidak menentu, pada bulan Februari 1957, Soekarno mengajukan gagasan "Konsepsi Presiden". Dalam situasi dan kondisi seperti itu, beberapa tokoh partai politik mengajukan kepada Soekarno untuk mendekritkan berlakunya kembali UUD 1945 yang merupakan langkah mewujudkan persatuan dan kesatuan nasional. Oleh karena itu, pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959yang berisi :

  • Pembubaran konstituante
  • Berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya kembali UUDS 1950
  • Pembentukan MPRS dan DPAS
Dekrit ini mendapat dukungan dari masyarakat dan KSAD. Mahkamah Agung juga membenarkan keberadaan Dekrit ini. DPR hasil pemilu 1955 juga menyatakan kesediannya untuk terus bekerja sesuai UUD 1945.

Hasil gambar untuk BERLAKUNYA DEKRIT PRESIDEN

Konstituante Gagal dalam Menyusun Undang - Undang Baru

Pada Pemilu 1955 didapatkan hasil empat partai terbesar yang memenangkan pemilihan konstituante dan DPR yaitu PNI, Masyumi, NU dan PKI. Setelah Pemilu 1955, kabinet Burhanudin Harahap selaku pemimpin kabinet yang melaksanakan program kerjanya, menyerahkan kedaulatannya kepada Soekarno untuk membuat kabinet baru. Kemudian pada tanggal 24 Maret 1966, ditunjuklah Ali Sastroamidjojo  untuk membentuk kabinet pada tanggal 24 Maret 1956 berdasarkan perimbangan partai - partai di parlemen. Kabinet ini tidak bertahan lama karena adanya oposisi dari daerah luar Jawa dengan alasan bahwa pemerintah mengabaikan pembangunan daerah di luar Jawa.

Pada bulan Februari 1957, Soekarno memanggil pejabat sipil, militer dan pejabat partai ke Istana Merdeka. Dalam pertemuan tersebut, Soekarno mengajukan konsepsi yang berisi :

  • Pembentukan Kabinet Gotong Royong yang terdiri atas wakil - wakil dari semua partai ditambah dengan golongan fungsional
  • Pembentukan Dewan Nasional (pada perkembangannya berubah nama menjadi Dewan Pertimbangan Agung) yang beranggotakan wakil - wakil partai dan golongan fungsional dalam masyarakat. Fungsi dewan ini yaitu memberi nasehat kepada kabinet baik diminta maupun tidak.
 Konsep ini kemudian ditolak oleh beberapa partai diantaranya Masyumi, NU, PSII, Partai Katholik dan PRI. Mereka berpendapat bahwa perubahan susunan ketatanegaraan secara radikal harus diserahkan kepada konstituante. Suhu politik kemudian memanas antara yang pro dan kontra atas usulan Soekarno tersebut. Pada peringatan Sumpah Pemuda tahun 1957, Soekarno menyatakan kesulitan negara dikarenakan banyaknya partai yang berdiri yang menyebabkan rusaknya persatuan dan kesatuan negara. Sehingga sebaiknya partai - partai politik dibubarkan.

Selanjutnya, dengan alasan menyelamatkan negara, Soekarno mengajukan konsepsi Demokrasi Terpimpin. Untuk sementara usulan ini terabaikan karena adanya hal yang lebih penting yaitu pemberontakan PRRI-Permesta. Setelah pemberontakan dapat diredam, masalah politik muncul kembali. Masalah semakin serius ketika konstituante gagal membuat dan menetapkan konstitusi baru. Kegagalan tersebut dikarenakan partai - partai yang menjadi wakil dalam lembaga konstituante lebih mementingkan kepentingan partainya sendiri - sendiri dalam penyusunan aturan yang diajukan.

Permasalahan utama konstituante adalah tentang penetapan dasar negara. Sebagian kelompok menghendaki Pancasila sebagai dasar negara sedangkan kelompok lain menghendaki Islam sebagai dasar negara. Dalam mengatasi kemacetan ini, kemudian muncul gagasan untuk kembali ke UUD 1945 dari kalangan ABRI. Dengan dikembalikannya ke UUD 1945, maka kekacauan atas pijakan negara dapat terselesaikan. Berbagai partai politik setuju dengan hal ini. Kemudian pada 19 Februari 1959, Kabinet menerima gagasan kembali ke UUD 1945.

Pada tanggal 22 April 1959, Soekarno menyampaikan anjuran pemerintah supaya konstituante menetapkan UUD 1945 menjadi konstitusi Republik Indonesia. Atas hal tersebut, konstituante kemudian membuat sebuah pemungutan suara yang dilakukan selama tiga kali dengan hasil suara yang setuju lebih banyak daripada yang menolak kembali ke UUD 1945, namun yang hadir kurang dari dua pertiga yang berarti tidak mencapai quorum (batas minimal pemungutan suara).

Dengan kegagalan pembuatan konstitusi baru oleh konstituante, maka sebagian anggota memutuskan tidak menghadiri sidang konstituante lagi. Disisi lain sejak tanggal 3 Juni 1959, Demokrasi Terpimpin diawali dengan dicetuskannya anjuran dari Soekarno untuk kembali ke UUD 1945 menggantikan UUDS yang dianggap tidak cocok untuk Indonesia. Namun usulan tersebut banyak menuai pro dan kontra dikalangan konstituante selaku lembaga yang membuat undang - undang.

 Sebagai reaksi dari usulan Soekarno, maka konstituante membentuk suatu pemungutan suara dadakan yang diikuti seluruh anggota konstituante. Pemungutan suara terebut dilakukan untuk meredam konflik antara pro dan kontra atas usulan Soekarno. Kegagalan konstituante dalam menentukan sikap menunjukkan bahwa partai yang ikut dalam konstituante masih mengabdi pada partainya bukan pada negara. Hal tersebutlah yang membuktikan ketidakmampuan konstituante dalam membuat konstitusi baru menggantikan UUDS 1950.

Sementara itu sejak 3 Juni 1959, konstituante memasuki masa reses dan ternyata termasuk dalam masa reses terakhir. Pada saat itu pula Penguasa Perang Pusat mengeluarkan peraturan Nomor : PRT/PERPU/040/1959 yang melarang adanya kegiatan politik. Berbagai partai dan ABRI mendukung usul untuk kembali ke UUD 1945.


Hasil gambar untuk PEMILU

Dekrit Presiden 5 Juli 1959

Dekrit Presiden 5 Juli 1959 - Badan Konstituante yang dibentuk melalui pemilihan umum tahun 1955 dipersiapkan untuk merumuskan undang-undang dasar konstitusi yang baru sebagai pengganti UUDS 1950. Pada tanggal  20 November 1956 Dewan Konstituante memulai persidangannya dengan pidato pembukaan dari Presiden Soekarno. Sidang yang akan dilaksanakan oleh anggota-anogota Dewan Konstituante adalah untuk menyusun dan menetapkan Republik Indonesia tanpa adanya pembatasan kedaulatan. Sampai tahun 1959, Konstituante tidak pemah berhasil merumuskan undang-undang dasar baru.

Keadaan seperti itu semakin mengguncangkan situasi Indonesia. Bahkan masing-masing partai politik selalu berusaha untuk mengehalalkan segala cara agar tujuan partainya tercapai. Sementara sejak tahun 1956 situasi politik negara Indonesia semakin buruk dan kacau. Hal ini disebabkan karena daerah-daerah mulai bengolak, serta memperlihatkan gejala-gejala separatisme. Seperti pembentukan Dewan Banteng, Dewan Gajah, Dewan Manguni, Dewan Garuda. Dewan Lambung- Mangkurat dan lain sebagainya. Daerah-daerah yang bergeolak tidak mengakui pemerintah pusat, bahkan mereka membentuk pemerintahan sendiri.

Seperti Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia PRRI di Sumatra dan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) di Sulawesi Utara. Keadaan yang semakin bertambah kacau ini dapat membahayakan dan mengancam keutuhan negara dan bangsa Indonesia. Suasana semakin bertambah panas sementara itu, rakyat sudah tidak sabar lagi dan menginginkan agar pemerintah mengambil tindakan-tindakan yang bijaksana untuk mengatasi kemacetan sidang Konstituante. Namun Konstituante ternyata tidak dapat diharapkan lagi.
Isi Dekrit Presiden 5 Juli 1959

Kegagalan Konstituante dalam membuat undang-undang dasar baru, menyebabkan negara Indonesia dilanda kekalutaan konstitusional. Undang-undang dasar yang menjadi dasar hukum pelaksanaan pemerintahan negara belum berhasil dibuat, sedangkan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 dengan sistem pemerintahan demokrasi liberal dianggap tidak sesuai dengan kondisi kehidupan masyarakat Indonesia. Untuk mengatasi situasi yang tidak menentu itu, pada bulan Februari 1957 Presiden Soekarno mengajukan suatu konsepsi.

Konsepsi Presiden menginginkan terbentuknya kabinet berkaki empat (yang terdiri dari empat partai terbesar seperti PNI, Masyumi NU, dan PKI) dan Dewan Nasional yang terdiri dari golongan fungsional yang berfungsi sebagai penasihat pemerintah. Ketua dewan dijabat oleh presiden sendiri. Konsepsi yang diajukan oleh Presiden Soekarno itu ternyata menimbulkan perdebatan. Berbagai argumen antara pro dan kontra muncul. Pihak yang menolak konsepsi itu menyatakan, perubahan yang mendasar dalam sistem kenegaraan hanya bisa dilaksakanakan oleh Konstituante.

Sebaliknya yang menerima konsepsi itu beranggapan bahwa krisis politik hanya bisa diatasi jika konsepsi itu dilaksanakan. Pada tanggal 22 April 1959, di depan sidang Konstituante Presiden Soekarno menganjurkan untuk kembali kepada UUD 1945 sebagai undang-undang dasar negara Republik Indonesia. Menanggapi pemyataan itu, pada tanggal 30 Mei 1959, Konstituante mengadakan sidang pemungutan suara. Hasil pemungutan suara itu menunjukkan bahwa mayoritas anggota Konstituante menginginkan berlakunya kembali UUD 1945 sebagai undang-undang dasar Republik Indonesia.

Namun jumlah anggota yang hadir tidak mencapai dua pertiga dari jumlah anggota Konstituante, seperti yang dipersyaratkan pada Pasal 137 UUDS 1950. Pemungutan suara diulang sampai dua kali. Pemungutan suara yang terakhir diselenggarakan pada tanggal 2 Juni 1959, tetapi juga mengalami kegagalan dan tidak dapat memenuhi dua pertiga dari jumlah suara yang dibutuhkan. Dengan demikian, sejak tanggal 3 Juni 1959 Konstituante mengadakan reses (istirahat). Untuk menghindari terjadinya bahaya yang disebabkan oleh kegiatan partai-partai politik maka pengumuman istirahat Konstituante diikuti dengan larangan dari Penguasa Perang Pusat untuk melakukan segala bentuk kegiatan politik.

Dalam situasi dan kondisi seperti itu, beberapa tokoh partai politik mengajukan usul kepada Presiden Soekarno agar mendekritkan berlakunya kembali UUD 1945 dan pembubaran Konstituante. Pemberlakuan kembali Undang-Undang Dasar 1945 merupakan langkah terbaik untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan nasional. Oleh karena itu, pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Isi Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang berisi sebagai berikut.
  • Pembubaran Konstituante.
  • Beriakunya Kembali UUD 1945.
  • Tidak berlakunya UUDS 1950.
  • Pembentukan MPRS dan DPAS.
Dekrit Presiden mendapat dukungan penuh dari masyarakat Indone-sia, sedangkan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Kolonel A.H. Nasution mengeluarkan perintah harian kepada seluruh anggota TNI-AD untuk mengamankan Dekrit Presiden.

Kamis, 20 September 2018

Konsep Nasakom Dalam Demokrasi Terpimpin.

Bung Karno sampai dengan akhir hayatnya tetap bertahan terhadap ide Nasakom yang mengatakan bahwa kekuatan politik di Indonesia pada saat itu terdiri dari tiga golongan ideologi besar yaitu: golongan yang berideologi nasionalis, golongan yang berideologi dengan latar belakang agama, dan golongan yang berideologi komunis. Tiga-tiganya merupakan kekuatan yang diharapkan tetap bersatu untuk menyelesaikan masalah bangsa secara bersama-sama.


Apakah dengan punya ide Nasakom tersebut bisa dikatakan bahwa Bung Karno adalah seorang Marxis yang lebih dekat dengan golongan komunis pada saat itu? Setiap orang boleh punya persepsi dan pendapatnya sendiri untuk hal ini. Tapi yamg nyata Bung Karno adalah seorang Nasionalis, yang ide Nasakom semata-mata dicetuskan melihat realitas masyarakat pada saat itu demi persatuan. Indonesia menginginkan suatu kolaborasi total semua anasir bangsa dari semua golongan ideologi yang ada termasuk golongan komunis untuk berama-sama bahu membahu membangun Indonesia. Walaupun tidak bisa dipungkiri memang Bung Karno pada periode 1959-1965 sangat terlihat lebih condong memberi angin kepada golongan komunis.


Barangkali juga ide Bung Karno tentang Nasakom berkaitan dengan pendapat Clifford Geertz yang dalam bukunya The Religion of Java yang membagi masyarakat Jawa dalam tiga varian: priyayi, santri, dan abangan. Yang bisa diterjemahkan priyayi adalah kaum Nasionalis, santri adalah kaum Agamis, dan abangan adalah kaum Komunis.


Realitas sejarah memang berkata lain setelah terjadi peristiwa 30 September 1965 yang sampai sekarang masih menyimpan misteri dan banyak versi diceritakan dari berbagai pihak bagaimana kejadiannya sampai terjadi pembunuhan para Jendral dan PKI dituduh yang telah melakukan semua ini dan tentara melakukan pembalasan dengan menumpas PKI sampai dengan akar-akarnya.


Suatu realitas yang mungkin Bung Karno tidak pernah menyangka ataupun mimpipun mungkin tidak, bahwa ada satu golongan kekuatan dalam peta politik di Indonesia yang tidak pernah terpikirkan menjadi suatu kekuatan penting dalam peta perpolitikan Indonesia yaitu kaum militer.


Bung Karno walaupun bukan orang militer, selalu memakai pakaian lengkap militer Panglima Tertinggi – Jendral Bintang Lima – dengan segala atribut kebesarannya, kata beberapa analis ini adalah salah satu diplomasi model Bung Karno untuk meredam ambisi dan kekuatan militer untuk berkuasa


Setelah terjadi peristiwa 30 September 1965, serta merta ide Nasakom musnah dan aneh bin ajaib kekuatan kaum komunis serta merta digantikan oleh satu kekuatan politik baru di Indonesia yaitu kaum militer. Walaupun dengan segala dalih, kaum militer tidak pernah mengakui bahwa mereka adalah satu kekuatan politik yang telah mendominasi Indonesia selama 32 tahun. Mereka selalu mengatakan bahwa militer berdiri dibelakang semua golongan.


Kesimpulannnya bahwa realitas politik di Indonesia semenjak jaman kemerdekaan sampai dengan saat ini pernah ada empat golongan kekuatan politik: kaum nasionalis, kaum agamis, kaum komunis, dan kaum militer (dan motor politik pendukungnya). Masing-masing kekuatan politik pernah mengalami jaman keemasan dan juga pernah terhempas dalam kancah politik di Indonesia. Dalam realitasnya setiap golongan kekuatan politik yang pernah mendominasi kekuasaan dan menjalankan pemerintahan Republik Indonesia belum ada yang mampu mengantarkan Indonesia menuju cita-cita bangsa untuk menjadi negara yang adil, makmur dan sejahtera.

Pada awal kemerdekaan kaum nasionalis dengan motor politiknya PNI (Partai Nasional Indonesia) pernah memegang dominasi pemerintahan sampai pada sekitar tahun 1959. Setelah Bung Karno membuat dekrit pada tanggal 1 Juli 1959 untuk kembali ke UUD ’45, maka kekuasaan mutlak ada di tangan Bung Karno yang lebih memberikan angin pada kaum komunis untuk mendominasi kancah politik di Indonesia (atau terbawa oleh strategi kaum komunis) pada periode 1959 s/d 1965

Hasil gambar untuk SOEKARNO

Demokrasi Terpimpin Ditinjau dari Demokrasi Moderen.

Dalam Priode Demokrasi terpimpin pemikiran Demokrasi ala Barat banyak di tingalkan bahkan lebih nampak gambarannya manakala Demokrasi parlementer sebelumnya berkuasa di indonesia karena mengacu pada latar belakang pendidikan penggagasnya, yaitu yang pernah sekolah di luar negeri seperti Drs. M.Hatta dan Syahrir,walaupun gagasannya tidak 100% persis barat karena di sana sini berhubungan juga dengan islam,Nasionalis dan Lokal.
Soekarno sebagai pemimpin tertinggi pada era Demokrasi terpimpin menyatakan bahwa Demokrasi liberal tidak sesuai dengan kepribadian BI, prosedur pemungutan suara, dalam lembaga perwakilan rakyat dinyatakan sebagai tidak efektif dan kemudian Soekarno memperkenalkan dengan apa yang di sebut dengan”Musyawarah untuk mufakat”
Banyaknya partai politik oleh bung karno adalah penyebab tidak adanya pencapayan hasil dan sulit dicapai kataq sepakat karena terlalubanyak berdebat atau bersitegang urat leher.
Dari kacamata demokrasi moderen Kita menyaksikan semuanya di rubah,semua berubah,dan semua kelihatan berganti dan semua diganti tapi sesungguhnya tidak ada yang berganti dan berubah, yang pada hari ini semua serba mudah dan terkesan di mudahkan dan hampir kebablasan.Memang Demokrasi Terpimpin agak terasa asing Namun apa yang terjadi dimasalalu karena kehendak waktu dan peristiwa menginginkan demikian pada hari-hari itu, Dimana ketika kita dihadapkan kepada dua pilihan yakni: apakah kita mau di gembleng untuk sementara waktu demi sejarah yang mengoyak ngoyak bangsa selama-beberapa lamanya, ataukah kita siap bercerai berai dari kesatuan Negara Republik Indonesia yang artinya kita semakin lemah?.


Hasil gambar untuk SOEKARNO

Berakhirnya Demokrasi Terpimpin

Berakhirnya Demokrasi terpimpin tidak terlepas dari permasalahan peristiwa kudeta G30SPKI. Peristiwa tersebut dianggap sebagai percobaan kud...