Jumat, 21 September 2018

Berakhirnya Demokrasi Terpimpin

Berakhirnya Demokrasi terpimpin tidak terlepas dari permasalahan peristiwa kudeta G30SPKI. Peristiwa tersebut dianggap sebagai percobaan kudeta para gologan kontra revolusioner yang menamakan dirinya Gerakan 30 September. Tindakan yang diambil Soekarno pada tanggal 30 September 1965 hingga 1967 dianggap sebagai kudeta merangkak (creeping coup). Proses kudeta tidak berlangsung menghantam, melainkan secara perlahan. Bahkan selama kekuasaannya beralih, Soekarno masih berstatus sebagai presiden. Terjadilah dualisme kepemimpinan dalam waktu peralian presiden Soekarno ke Soeharto. 

Peristiwa G30SPKI menjadi titik awal keruntuhan Soekarno. Peristiwa ini masih menjadi misteri yang harus dipertanggungjawabkan, namun titik awal inilah yang kemudian menjadi latar belakang jatuhnya pamor Soekarno sejak 1965 - 1967. Turunnya Soekarno kemudian melahirkan suatu pemerintahan yang memiliki semangat menegakkan Pancasila dan melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Tekad inilah yang kemudian disebut masa Orde Baru dibawah kepemimpinan Soeharto.  

Peralihan kekuasaan terlihat jelas pada penyerahan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar/SP 11 Maret) 1966 yang benar - benar dimanfaatkan Soeharto sebagai pengemban surat sakti dengan mengambil alih kebijakan dan keputusan politik seperti pembubaran PKI dan ormas - ormasnya. Padahal pada dictum supersemar sendiri lebih menekankan pada penyerahan kekuasaan militer (dalam artian pengamanan jalannya pemerintahan) dan bukan penyerahan kekuasaan politik. Supersemar bukanlah transfer of authority (pengalihan kekuasaan). Hal ini yang kemudian mengindikasikan adanya kudeta dari Soeharto.

Klimaks ini berujung pada sidang Istimewa MPRS pada tanggal 23 Februari 1967 yang secara resmi dilakukan penyerahan pemerintahan kepada pengemban Supersemar. Sehubungan dengan hal tersebut, maka pada tanggal 7-12 Maret 1967, dilakukan sidang MPRS yang memutuskan :

  1. Pidato Nawaksara beserta pelengkapnya tidak memenui harapan rakyat dikarenakan tidak secara jelas mengenai pembentukan Gerakan 30 September.
  2. Presiden telah menyerahkan kekuasaan kepada pengemban Supersemar.
  3. Presiden telah melakukan kebijakan secara tidak langsung menguntungkan bagi Gerakan 30 September
 Kemudian, pada 12 Maret 1967, Soeharto akhirnya diambil sumpah dan dilantik sebagai presiden Republik Indonesia yang kedua berdasarkan ketetapan MPR No. XXXIII/MPRS/1967.

Hasil gambar untuk SOEKARNO

Pengaruh Dekrit Presiden

Setelah berlakunya UUD 1945 sebagai dasar dari Demokrasi terpimpin. Ternyata harapan ini akhirnya hilang karena UUD 1945 tidak dilaksanakan secara konsekuen. UUD 1945 yang dianggap sebagai dasar dari hukum konstitusional hanyalah slogan - slogan kosong belaka. Hal ini terlihat jelas dari penyelewengan - penyelewengan yang dilakukan presiden. Diantaranya :
  • Prosedur pembentukan DPRGR dan MPRS
  • Anggota MPRS ditunjuk dan diangkat oleh Presiden
  • Membubarkan DPR hasil Pemilu 1955
  • Menjadikan kedudukan pemimpin lembaga tertinggi dan lembaga Negara sebagai menteri yang berarti sebagai pembantu Presiden GBHN yang bersumber dari pidato tanggal 17 Agustus 1959 yang berjudul “penemuan kembali revolusi kita” dijadikan GBHN ditetapkan oleh DPA bukan MPRS
  • Pengangkatan Presiden seumur hidup
  • Pemberlakuan NASAKOM

Hasil gambar untuk PENGARUH DEKRIT PRESIDEN

Diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959

Hingga tahun 1959, konstituante tidak pernah menghasilkan undang - undang baru sebagai ganti dari UUDS 1950. Bahkan partai - partai yang menjadi bagian dari konstituante selalu menghalalkan segala cara agar tujuan partainya tercapai melalui kebijakan pembuatan undang - undang. Oleh sebab itulah kondisi politik sejak 1956 semakin kacau dan memburuk.

Keadaan ini semakin bertambah kacau dan mengancam keutuhan bangsa dan negara. Rakyat bereaksi dari kondisi ini dengan memaksa pemerintah mengambil tindakan tegas untuk mengatasi kemacetan sidang Konstituante yang tidak bisa diharapkan lagi. Untuk mengatasi situasi yang tidak menentu, pada bulan Februari 1957, Soekarno mengajukan gagasan "Konsepsi Presiden". Dalam situasi dan kondisi seperti itu, beberapa tokoh partai politik mengajukan kepada Soekarno untuk mendekritkan berlakunya kembali UUD 1945 yang merupakan langkah mewujudkan persatuan dan kesatuan nasional. Oleh karena itu, pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959yang berisi :

  • Pembubaran konstituante
  • Berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya kembali UUDS 1950
  • Pembentukan MPRS dan DPAS
Dekrit ini mendapat dukungan dari masyarakat dan KSAD. Mahkamah Agung juga membenarkan keberadaan Dekrit ini. DPR hasil pemilu 1955 juga menyatakan kesediannya untuk terus bekerja sesuai UUD 1945.

Hasil gambar untuk BERLAKUNYA DEKRIT PRESIDEN

Konstituante Gagal dalam Menyusun Undang - Undang Baru

Pada Pemilu 1955 didapatkan hasil empat partai terbesar yang memenangkan pemilihan konstituante dan DPR yaitu PNI, Masyumi, NU dan PKI. Setelah Pemilu 1955, kabinet Burhanudin Harahap selaku pemimpin kabinet yang melaksanakan program kerjanya, menyerahkan kedaulatannya kepada Soekarno untuk membuat kabinet baru. Kemudian pada tanggal 24 Maret 1966, ditunjuklah Ali Sastroamidjojo  untuk membentuk kabinet pada tanggal 24 Maret 1956 berdasarkan perimbangan partai - partai di parlemen. Kabinet ini tidak bertahan lama karena adanya oposisi dari daerah luar Jawa dengan alasan bahwa pemerintah mengabaikan pembangunan daerah di luar Jawa.

Pada bulan Februari 1957, Soekarno memanggil pejabat sipil, militer dan pejabat partai ke Istana Merdeka. Dalam pertemuan tersebut, Soekarno mengajukan konsepsi yang berisi :

  • Pembentukan Kabinet Gotong Royong yang terdiri atas wakil - wakil dari semua partai ditambah dengan golongan fungsional
  • Pembentukan Dewan Nasional (pada perkembangannya berubah nama menjadi Dewan Pertimbangan Agung) yang beranggotakan wakil - wakil partai dan golongan fungsional dalam masyarakat. Fungsi dewan ini yaitu memberi nasehat kepada kabinet baik diminta maupun tidak.
 Konsep ini kemudian ditolak oleh beberapa partai diantaranya Masyumi, NU, PSII, Partai Katholik dan PRI. Mereka berpendapat bahwa perubahan susunan ketatanegaraan secara radikal harus diserahkan kepada konstituante. Suhu politik kemudian memanas antara yang pro dan kontra atas usulan Soekarno tersebut. Pada peringatan Sumpah Pemuda tahun 1957, Soekarno menyatakan kesulitan negara dikarenakan banyaknya partai yang berdiri yang menyebabkan rusaknya persatuan dan kesatuan negara. Sehingga sebaiknya partai - partai politik dibubarkan.

Selanjutnya, dengan alasan menyelamatkan negara, Soekarno mengajukan konsepsi Demokrasi Terpimpin. Untuk sementara usulan ini terabaikan karena adanya hal yang lebih penting yaitu pemberontakan PRRI-Permesta. Setelah pemberontakan dapat diredam, masalah politik muncul kembali. Masalah semakin serius ketika konstituante gagal membuat dan menetapkan konstitusi baru. Kegagalan tersebut dikarenakan partai - partai yang menjadi wakil dalam lembaga konstituante lebih mementingkan kepentingan partainya sendiri - sendiri dalam penyusunan aturan yang diajukan.

Permasalahan utama konstituante adalah tentang penetapan dasar negara. Sebagian kelompok menghendaki Pancasila sebagai dasar negara sedangkan kelompok lain menghendaki Islam sebagai dasar negara. Dalam mengatasi kemacetan ini, kemudian muncul gagasan untuk kembali ke UUD 1945 dari kalangan ABRI. Dengan dikembalikannya ke UUD 1945, maka kekacauan atas pijakan negara dapat terselesaikan. Berbagai partai politik setuju dengan hal ini. Kemudian pada 19 Februari 1959, Kabinet menerima gagasan kembali ke UUD 1945.

Pada tanggal 22 April 1959, Soekarno menyampaikan anjuran pemerintah supaya konstituante menetapkan UUD 1945 menjadi konstitusi Republik Indonesia. Atas hal tersebut, konstituante kemudian membuat sebuah pemungutan suara yang dilakukan selama tiga kali dengan hasil suara yang setuju lebih banyak daripada yang menolak kembali ke UUD 1945, namun yang hadir kurang dari dua pertiga yang berarti tidak mencapai quorum (batas minimal pemungutan suara).

Dengan kegagalan pembuatan konstitusi baru oleh konstituante, maka sebagian anggota memutuskan tidak menghadiri sidang konstituante lagi. Disisi lain sejak tanggal 3 Juni 1959, Demokrasi Terpimpin diawali dengan dicetuskannya anjuran dari Soekarno untuk kembali ke UUD 1945 menggantikan UUDS yang dianggap tidak cocok untuk Indonesia. Namun usulan tersebut banyak menuai pro dan kontra dikalangan konstituante selaku lembaga yang membuat undang - undang.

 Sebagai reaksi dari usulan Soekarno, maka konstituante membentuk suatu pemungutan suara dadakan yang diikuti seluruh anggota konstituante. Pemungutan suara terebut dilakukan untuk meredam konflik antara pro dan kontra atas usulan Soekarno. Kegagalan konstituante dalam menentukan sikap menunjukkan bahwa partai yang ikut dalam konstituante masih mengabdi pada partainya bukan pada negara. Hal tersebutlah yang membuktikan ketidakmampuan konstituante dalam membuat konstitusi baru menggantikan UUDS 1950.

Sementara itu sejak 3 Juni 1959, konstituante memasuki masa reses dan ternyata termasuk dalam masa reses terakhir. Pada saat itu pula Penguasa Perang Pusat mengeluarkan peraturan Nomor : PRT/PERPU/040/1959 yang melarang adanya kegiatan politik. Berbagai partai dan ABRI mendukung usul untuk kembali ke UUD 1945.


Hasil gambar untuk PEMILU

Dekrit Presiden 5 Juli 1959

Dekrit Presiden 5 Juli 1959 - Badan Konstituante yang dibentuk melalui pemilihan umum tahun 1955 dipersiapkan untuk merumuskan undang-undang dasar konstitusi yang baru sebagai pengganti UUDS 1950. Pada tanggal  20 November 1956 Dewan Konstituante memulai persidangannya dengan pidato pembukaan dari Presiden Soekarno. Sidang yang akan dilaksanakan oleh anggota-anogota Dewan Konstituante adalah untuk menyusun dan menetapkan Republik Indonesia tanpa adanya pembatasan kedaulatan. Sampai tahun 1959, Konstituante tidak pemah berhasil merumuskan undang-undang dasar baru.

Keadaan seperti itu semakin mengguncangkan situasi Indonesia. Bahkan masing-masing partai politik selalu berusaha untuk mengehalalkan segala cara agar tujuan partainya tercapai. Sementara sejak tahun 1956 situasi politik negara Indonesia semakin buruk dan kacau. Hal ini disebabkan karena daerah-daerah mulai bengolak, serta memperlihatkan gejala-gejala separatisme. Seperti pembentukan Dewan Banteng, Dewan Gajah, Dewan Manguni, Dewan Garuda. Dewan Lambung- Mangkurat dan lain sebagainya. Daerah-daerah yang bergeolak tidak mengakui pemerintah pusat, bahkan mereka membentuk pemerintahan sendiri.

Seperti Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia PRRI di Sumatra dan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) di Sulawesi Utara. Keadaan yang semakin bertambah kacau ini dapat membahayakan dan mengancam keutuhan negara dan bangsa Indonesia. Suasana semakin bertambah panas sementara itu, rakyat sudah tidak sabar lagi dan menginginkan agar pemerintah mengambil tindakan-tindakan yang bijaksana untuk mengatasi kemacetan sidang Konstituante. Namun Konstituante ternyata tidak dapat diharapkan lagi.
Isi Dekrit Presiden 5 Juli 1959

Kegagalan Konstituante dalam membuat undang-undang dasar baru, menyebabkan negara Indonesia dilanda kekalutaan konstitusional. Undang-undang dasar yang menjadi dasar hukum pelaksanaan pemerintahan negara belum berhasil dibuat, sedangkan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 dengan sistem pemerintahan demokrasi liberal dianggap tidak sesuai dengan kondisi kehidupan masyarakat Indonesia. Untuk mengatasi situasi yang tidak menentu itu, pada bulan Februari 1957 Presiden Soekarno mengajukan suatu konsepsi.

Konsepsi Presiden menginginkan terbentuknya kabinet berkaki empat (yang terdiri dari empat partai terbesar seperti PNI, Masyumi NU, dan PKI) dan Dewan Nasional yang terdiri dari golongan fungsional yang berfungsi sebagai penasihat pemerintah. Ketua dewan dijabat oleh presiden sendiri. Konsepsi yang diajukan oleh Presiden Soekarno itu ternyata menimbulkan perdebatan. Berbagai argumen antara pro dan kontra muncul. Pihak yang menolak konsepsi itu menyatakan, perubahan yang mendasar dalam sistem kenegaraan hanya bisa dilaksakanakan oleh Konstituante.

Sebaliknya yang menerima konsepsi itu beranggapan bahwa krisis politik hanya bisa diatasi jika konsepsi itu dilaksanakan. Pada tanggal 22 April 1959, di depan sidang Konstituante Presiden Soekarno menganjurkan untuk kembali kepada UUD 1945 sebagai undang-undang dasar negara Republik Indonesia. Menanggapi pemyataan itu, pada tanggal 30 Mei 1959, Konstituante mengadakan sidang pemungutan suara. Hasil pemungutan suara itu menunjukkan bahwa mayoritas anggota Konstituante menginginkan berlakunya kembali UUD 1945 sebagai undang-undang dasar Republik Indonesia.

Namun jumlah anggota yang hadir tidak mencapai dua pertiga dari jumlah anggota Konstituante, seperti yang dipersyaratkan pada Pasal 137 UUDS 1950. Pemungutan suara diulang sampai dua kali. Pemungutan suara yang terakhir diselenggarakan pada tanggal 2 Juni 1959, tetapi juga mengalami kegagalan dan tidak dapat memenuhi dua pertiga dari jumlah suara yang dibutuhkan. Dengan demikian, sejak tanggal 3 Juni 1959 Konstituante mengadakan reses (istirahat). Untuk menghindari terjadinya bahaya yang disebabkan oleh kegiatan partai-partai politik maka pengumuman istirahat Konstituante diikuti dengan larangan dari Penguasa Perang Pusat untuk melakukan segala bentuk kegiatan politik.

Dalam situasi dan kondisi seperti itu, beberapa tokoh partai politik mengajukan usul kepada Presiden Soekarno agar mendekritkan berlakunya kembali UUD 1945 dan pembubaran Konstituante. Pemberlakuan kembali Undang-Undang Dasar 1945 merupakan langkah terbaik untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan nasional. Oleh karena itu, pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Isi Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang berisi sebagai berikut.
  • Pembubaran Konstituante.
  • Beriakunya Kembali UUD 1945.
  • Tidak berlakunya UUDS 1950.
  • Pembentukan MPRS dan DPAS.
Dekrit Presiden mendapat dukungan penuh dari masyarakat Indone-sia, sedangkan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Kolonel A.H. Nasution mengeluarkan perintah harian kepada seluruh anggota TNI-AD untuk mengamankan Dekrit Presiden.

Kamis, 20 September 2018

Konsep Nasakom Dalam Demokrasi Terpimpin.

Bung Karno sampai dengan akhir hayatnya tetap bertahan terhadap ide Nasakom yang mengatakan bahwa kekuatan politik di Indonesia pada saat itu terdiri dari tiga golongan ideologi besar yaitu: golongan yang berideologi nasionalis, golongan yang berideologi dengan latar belakang agama, dan golongan yang berideologi komunis. Tiga-tiganya merupakan kekuatan yang diharapkan tetap bersatu untuk menyelesaikan masalah bangsa secara bersama-sama.


Apakah dengan punya ide Nasakom tersebut bisa dikatakan bahwa Bung Karno adalah seorang Marxis yang lebih dekat dengan golongan komunis pada saat itu? Setiap orang boleh punya persepsi dan pendapatnya sendiri untuk hal ini. Tapi yamg nyata Bung Karno adalah seorang Nasionalis, yang ide Nasakom semata-mata dicetuskan melihat realitas masyarakat pada saat itu demi persatuan. Indonesia menginginkan suatu kolaborasi total semua anasir bangsa dari semua golongan ideologi yang ada termasuk golongan komunis untuk berama-sama bahu membahu membangun Indonesia. Walaupun tidak bisa dipungkiri memang Bung Karno pada periode 1959-1965 sangat terlihat lebih condong memberi angin kepada golongan komunis.


Barangkali juga ide Bung Karno tentang Nasakom berkaitan dengan pendapat Clifford Geertz yang dalam bukunya The Religion of Java yang membagi masyarakat Jawa dalam tiga varian: priyayi, santri, dan abangan. Yang bisa diterjemahkan priyayi adalah kaum Nasionalis, santri adalah kaum Agamis, dan abangan adalah kaum Komunis.


Realitas sejarah memang berkata lain setelah terjadi peristiwa 30 September 1965 yang sampai sekarang masih menyimpan misteri dan banyak versi diceritakan dari berbagai pihak bagaimana kejadiannya sampai terjadi pembunuhan para Jendral dan PKI dituduh yang telah melakukan semua ini dan tentara melakukan pembalasan dengan menumpas PKI sampai dengan akar-akarnya.


Suatu realitas yang mungkin Bung Karno tidak pernah menyangka ataupun mimpipun mungkin tidak, bahwa ada satu golongan kekuatan dalam peta politik di Indonesia yang tidak pernah terpikirkan menjadi suatu kekuatan penting dalam peta perpolitikan Indonesia yaitu kaum militer.


Bung Karno walaupun bukan orang militer, selalu memakai pakaian lengkap militer Panglima Tertinggi – Jendral Bintang Lima – dengan segala atribut kebesarannya, kata beberapa analis ini adalah salah satu diplomasi model Bung Karno untuk meredam ambisi dan kekuatan militer untuk berkuasa


Setelah terjadi peristiwa 30 September 1965, serta merta ide Nasakom musnah dan aneh bin ajaib kekuatan kaum komunis serta merta digantikan oleh satu kekuatan politik baru di Indonesia yaitu kaum militer. Walaupun dengan segala dalih, kaum militer tidak pernah mengakui bahwa mereka adalah satu kekuatan politik yang telah mendominasi Indonesia selama 32 tahun. Mereka selalu mengatakan bahwa militer berdiri dibelakang semua golongan.


Kesimpulannnya bahwa realitas politik di Indonesia semenjak jaman kemerdekaan sampai dengan saat ini pernah ada empat golongan kekuatan politik: kaum nasionalis, kaum agamis, kaum komunis, dan kaum militer (dan motor politik pendukungnya). Masing-masing kekuatan politik pernah mengalami jaman keemasan dan juga pernah terhempas dalam kancah politik di Indonesia. Dalam realitasnya setiap golongan kekuatan politik yang pernah mendominasi kekuasaan dan menjalankan pemerintahan Republik Indonesia belum ada yang mampu mengantarkan Indonesia menuju cita-cita bangsa untuk menjadi negara yang adil, makmur dan sejahtera.

Pada awal kemerdekaan kaum nasionalis dengan motor politiknya PNI (Partai Nasional Indonesia) pernah memegang dominasi pemerintahan sampai pada sekitar tahun 1959. Setelah Bung Karno membuat dekrit pada tanggal 1 Juli 1959 untuk kembali ke UUD ’45, maka kekuasaan mutlak ada di tangan Bung Karno yang lebih memberikan angin pada kaum komunis untuk mendominasi kancah politik di Indonesia (atau terbawa oleh strategi kaum komunis) pada periode 1959 s/d 1965

Hasil gambar untuk SOEKARNO

Demokrasi Terpimpin Ditinjau dari Demokrasi Moderen.

Dalam Priode Demokrasi terpimpin pemikiran Demokrasi ala Barat banyak di tingalkan bahkan lebih nampak gambarannya manakala Demokrasi parlementer sebelumnya berkuasa di indonesia karena mengacu pada latar belakang pendidikan penggagasnya, yaitu yang pernah sekolah di luar negeri seperti Drs. M.Hatta dan Syahrir,walaupun gagasannya tidak 100% persis barat karena di sana sini berhubungan juga dengan islam,Nasionalis dan Lokal.
Soekarno sebagai pemimpin tertinggi pada era Demokrasi terpimpin menyatakan bahwa Demokrasi liberal tidak sesuai dengan kepribadian BI, prosedur pemungutan suara, dalam lembaga perwakilan rakyat dinyatakan sebagai tidak efektif dan kemudian Soekarno memperkenalkan dengan apa yang di sebut dengan”Musyawarah untuk mufakat”
Banyaknya partai politik oleh bung karno adalah penyebab tidak adanya pencapayan hasil dan sulit dicapai kataq sepakat karena terlalubanyak berdebat atau bersitegang urat leher.
Dari kacamata demokrasi moderen Kita menyaksikan semuanya di rubah,semua berubah,dan semua kelihatan berganti dan semua diganti tapi sesungguhnya tidak ada yang berganti dan berubah, yang pada hari ini semua serba mudah dan terkesan di mudahkan dan hampir kebablasan.Memang Demokrasi Terpimpin agak terasa asing Namun apa yang terjadi dimasalalu karena kehendak waktu dan peristiwa menginginkan demikian pada hari-hari itu, Dimana ketika kita dihadapkan kepada dua pilihan yakni: apakah kita mau di gembleng untuk sementara waktu demi sejarah yang mengoyak ngoyak bangsa selama-beberapa lamanya, ataukah kita siap bercerai berai dari kesatuan Negara Republik Indonesia yang artinya kita semakin lemah?.


Hasil gambar untuk SOEKARNO

Keadaan Politik di Masa Demokrasi Terpimpin




Selain dibentuk Kabinet Kerja, pada demokrasi terpimpin dibentuk juga lembaga negara seperti DPRGR, MPRS, DPAS dan Front Gotong Royong sebagai perwujudan dari Demokrasi Terpimpin. TNI dan ABRI disatukan dalam bentuk Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang terdiri dari empat angkatan yaitu TNI Angkatan Darat, TNI Angkatan Laut, TNI Angkatan Udara dan Angkatan Kepolisian. Masing - masing dipimpin angkatan yang dipimpin oleh Menteri Panglima Angkatan yang kedudukannya dibawah Presiden atau Panglima Tertinggi ABRI. Golongan ABRI dianggap sebagai golongan fungsional dan memiliki kekuatan politik. Dengan demikian, ABRI memainkan kekuatannya dalam dunia perpolitikan.

Berdasarkan Perpres No. 7 Tahun 1959 tanggal 31 Desember 1959 yang menetapkan syarat yang dipenuhi sebuah partai. Partai politik diharuskan memenuhi syarat seperti jumlah anggota. Hasilnya, hanya beberapa partai yang masih dapat bertahan diantaranya PNI, Masyumi, NU, PKI, Partai Katholik, Parkindo, PSI, Partai Murba, Partai IPKI, PSII, dan Partai Perti. Tindakan ini lebih dikenal dengan nama penyederhanaan partai. Disisi lain, partai Masyumi dan PSI terlibat dalam pemberontakan PRRI-Permesta sehingga kedua partai tersebut dibubarkan oleh pemerintah.

Pada saat itu, kekuatan terpusat pada Soekarno, ABRI dan partai - partai terutama PKI. Soekarno berusaha menciptakan keseimbangan (balance of power) antara ABRI sebagai lembaga keamanan dan ABRI dengan partai politik. Untuk menciptakan keseimbangan tersebut, Soekarno memerlukan dukungan yaitu dari PKI. Keadaan ini sangat menguntungkan PKI yang memiliki kepentingan. PKI memainkan peranannya sebagai pendukung Soekarno dalam bidang politik hingga dikeluarkannya konsep Nasionalis, Agama dan Komunis (NASAKOM) oleh Soekarno.

Disisi lain, PKI yang memiliki cap bersifat internasional (kurang nasional) dan anti agama dijawab bahwa PKI menerima Manipol (Manifesto Politik) yang didalamnya mencakup Pancasila. Ajakan Soekarno supaya jangan komunistophobia (rasa takut terhadap komunis) sangat menguntungkan PKI dan menjadikan PKI aman. Saat itu keduanya saling melengkapi antara Soekarno dan PKI.

Dalam rangka mewujudkan sosialisme (yang kelak menjadi komunisme) di Indonesia, PKI menempuh beberapa tindakan diantaranya :

  1. Dalam Negeri; menyusup ke berbagai partai politik atau organisasi massa yang melawannya kemudian memecah belah. Pada bidang pendidikan mengusahakan Marxisme-Leninisme sebagai mata pelajaran wajib. Pada bidang militer yaitu mendoktrinasi ajaran komunis kepada para perwira dan membangun sel - sel komunis diantara ABRI.
  2. Luar Negeri; berusaha mengarahkan Indonesia dari politik bebas aktif yang mendekati negara - negara komunis terutama Uni Soviet dan Cina.
PKI dicurigai ingin merebut kekuasaan Indonesia atas dasar pengalaman pemberontakan PKI Madiun 1948. Pada tahun 1964, ditemukan dokumen yang memuat rencana perebutan kekuasaan oleh PKI. PKI menyatakan dokumen itu palsu. Berkat perlindungan presiden, tuduhan itu tidak berlaku. Aidit selaku ketua PKI dihadapan peserta kursus Kader Revolusi secara terang - terangan menyatakan bahwa "Pancasila hanya merupakan alat pemersatu dan kalau sudah bersatu, Pancasila tidak diperlukan lagi". Pernyataan ini tidak mendapat tindakan dari presiden hingga PKI melakukan intimidasi di segala bidang pada ranah politik.

Pada bidang kebudayaan dan pers, PKI mempengaruhi Soekarno untuk melarang Manifesto Kebudayaan (Manikebu) dan Barisan Pendukung Soekarno (BPS). Alasannya adalah keduanya didukung oleh intelijen Amerika Serikat, CIA. Sebenarnya, yang ditentang PKI bukan Manikebu, melainkan terselenggaranya Konferensi Karyawan Pengarang Indonesia (KKPI) yang berhasil membentuk organisasi pengarang dengan nama Persatuan Karyawan Pengarang Indonesia (PKPI). Selain itu PKI juga berhasil mempengaruhi Antara (Kantor berita) dan RRI. 

Pada bidang kepartaian, PKI melakukan fitnah kepada partai Murba sehingga partai Murba dibubarkan oleh Soekarno. PKI juga menyusup ke partai lain seperti partai PNI pimpinan Ali Sastroamidjojo sebagai ketua dan Jendera Surachman sebagai sekertaris yang jenderalnya disusupi PKI. Besarnya kekuatan PKI di tubuh PNI (Ali - Surachman) menyebabkan marhaenisme diberi arti marxisme yang diterapkan di Indonesia. Tokoh - tokoh marhaenisme PNI seperti Osa Maliki dipecat dari kepengurusan yang kemudian membuat partai tandingan yaitu PNI Osa Usep (Ketuanya Osa Maliki dan sekertaris Usep Ranuwijaya). Dengan demikian PNI pecah menjadi dua.

Pada bidang agraria, PKI melalui ormasnya, Barisan Tani Indonesia (BTI) berhasil melakukan landreformdi beberapa wilayah dan melakukan aksi penyerobotan tanah sepihak seperti di Boyolali, Kediri, Klaten dan Sumatera Utara. Aksi sepihak ini bertujuan mengacaukan keadaan dan juga sebagai alat ukur untuk mengetahui reaksi dari ABRI.

Dalam usaha mempengaruhi ABRI, PKI mempergunakan jalur resmi. Jalur resmi adalah Komisari Politik Nasakom yang mendampingi Panglima atau Komandan Kesatuan. Sedangkan jalur tidak resmi adalah melalui Biro Khusus yang diketuai Kamaruzaman (Syam). Rupanya melalui penempatan Komisaris Politik Nasakom yang terdiri dari PNI dan NU, PKI kurang berhasil karena ketangguhan sikap pimpinan ABRI. ABRI mampu menanggulangi pengaruh komunis bahkan menjadi penghalang bagi PKI untuk mendirikan negara komunis. Oleh sebab itu, peristiwa G30SPKI dijadikan sarana bagi ABRI terutama TNI AD untuk memberantas komunis.




Penyimpangan Demokrasi Terpimpin di Indonesia

Berbagai penyimpangan muncul pada masa Demokrasi Terpimpin. Kekuasaan presiden yang sangat besar menjadi salah satu penyebabnya. Berbagai penyimpangan yang muncul antara lain:
  1. Prosedur pembentukan MPRS dan DPRS, yang keduanya ditetapkan oleh Penpres. Pada hal menurut undang-undang kedua lembaga tersebut dibentuk berdassakan pemilu.
  2. Membubarkan DPR hasil pemilu 1955, menurut UUD 1945 bahwa DPR adalah mitra presiden dalam membuat undang-undang dan menetapkan RAPBN.
  3. Menjadikan kedudukan pemimpin lembaa tertinggi dan lembaga Negara sebagai menteri yang berarti sebagai pembantu presiden. Pada hal menurut UUD 1945 kedudukan MPR berada di atas presiden, sedangkan kedudukan lembaga-lembaga tinggi sejajar dengan presiden.
  4. Membentuk Front Nasional dan Musyawarah Pembantu pimpinan Revolusi. Kedua lembaga tersebut tidak ada dalam UUD 1945.
  5. Pengangkatan presiden seumur hidup, hal ini merupakan penyimpangan terhadap UUD 1945. Menurut Pasal 7 UUD 1945 dinyatakan bahwa Presiden memagang jabatan selama lima tahun sesudahnya dapat dipilih kembali
  6. Lembaga-lembaga Negara berintikan Nasionalis, Agama, dan Komunis (Nasakom). Hal ini mengakibatkan Komunis (PKI) banyak memegang peranan penting dalam percaturan politik Negara. Di samping itu dengan memasukan PKI dalam pemerintahan itu jelas bertentangan dengan Pancasila
  7. Politik luar negeri Indonesia lebih condong ke blok timur.
Hasil gambar untuk SOEKARNO

Politik Luar Negeri Indonesia Pada Masa Demokrasi Terpimpin

Pada masa Demokrasi Terpimpin, politik luar negeri Indonesia lebih condong ke blok Timur hal ini dikarenakan kekecewaan Indonesia terhadap negara-negara Barat yang dianggap kurang mendukung perjuangan Indonesia dalam upaya pembebasan Irian Barat. Beberapa kebijakan luar negeri yang ditempuh oleh presiden Seokarno antara lain:
  1. Bersama dengan Yugoslavia, India, Ghana, dan Mesir, Indonesia memprakarsai berdirinya Gerakan Non Blok (1961)
  2. Pada saat pelaksanaan ASIAN Games ke-4 yang dilakukan di Jakarta, Indonesia tidak mengundang Israel dan Taiwan.
  3. Presiden Soekarno membagi kekuatan dunia menjadi dua yaitu Oldefo dan Nefo
  4. Indonesia menyelenggaakan pecan olahraga untuk negara negara Nefo yang bernama Game of The Emeging Forces (Ganefo) sebagai tandingan dari Olimpiade
  5. Pembentukan poros Jakarta-Peking, yakni kerjasama antara Indonesia dengan Cina
  6. Melakukan konfrontasi dengan Malaysia
  7. Presiden Soekarno merencanakan akan membentuk Conference of The New Emerging Forces (Conefo) sebagai tandingan dari PBB.
  8. Indonesia keluar dari PBB yang diumumkan secara langsung oleh Presiden Soekarno pada tanggal 7 Januari 1965.
Hasil gambar untuk SOEKARNO

Ekonomi pada Demokrasi Terpimpin

Demokrasi Terpimpin dibentuk Seokarno pasca adanya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dalam bidang ekonomi dipraktekkan ssstem ekonomi  Terpimpin, Presiden Soekarno secara langsung terjun dan mengatur perekonomian-perekonomian yang terpusat pada pemerintah pusat yang menjurus pada sistem ekonomi etatime menyebabkan menurunnya kegiatan ekonomi. Pada gilirannya keadaan perekonomian mengalami invlasi yang cukup parah. Pada akhir tahun 1965 inflasi telah mencapai 650 persen. Berbagai kebijakan Ekonomi pada masa Demokrasi Terpimpin antara lain:
  1. Pembentukan Badan Perancang Pembangunan Nasional (Bappenas) yang diketuai oleh Presiden Soekarno dengan tugas menyusun rencana pembangunan jangka panjang dan jangka pendek, serta mengawasi dan menilai pelaksanaan pembangunan tersebut.
  2. Melakukan pemotongan nilai mata uang atau senering pada tanggal 25 Agustus 1959 yang isinya : uang kertas pecahan bernilai Rp. 500 menjadi Rp. 50, uang kertas pecahan Rp. 1.000 menjadi Rp. 100, dan pembekuan simpanan di bank yang melebihi Rp. 25.000.
  3. Deklarasi Ekonomi atau Dekan disusun oleh Panitia 13. Anggota panitia ini bukan hanya para ahli ekonomi, namun juga melibatkan para pimpinan partai politik, anggota Musyawarah Pembantu Pimpinan Revolusi (MPPR), pimpinan DPR, DPA. Panitia ini menghasilkan konsep yang kemudian disebut Deklarasi Ekonomi (Dekon) sebagai strategi dasar ekonomi Indonesia dalam rangka pelaksanaan Ekonomi Terpimpin
  4. Adanya devaluasi terhadap mata uang Rp. 1.000 menjadi Rp. 1
  5. Pembentukan Bank Tunggal Milik Negara
Hasil gambar untuk sejarah demokrasi terpimpin

Ciri - Ciri Demokrasi Terpimpin

Ciri demokrasi terpimpin diantaranya adalah sebagai berikut :
  1. Dominasi kekuasaan presiden
Dalam sistem demokrasi terpimpin menganut asas presidensil. Asas yang mengedepankan presiden sebagai pemilik kekuasaan tertinggi. Dengan diberlakukannya demokrasi terpimpin sejak Dekrit 5 Juli 1959, secara otomatis negara Indonesia berada di bawah perintah presiden Soekarno pada masa itu.
Hal ini memicu munculnya kesenjangan peran dari wakil rakyat dan memengaruhi sistem kerja kabinet. Presiden yang memimpin segala pergerakan pemerintahan sehingga dapat dengan mudah menyingkirkan peran- peran yang dianggap tidak sesuai dengan kehendaknya, terutama dalam bidang politik.
  1. Peran Partai Politik Dibatasi
Memudarnya sistem partai politik bagi Indonesia pada masa demokrasi terpimpin mengakibatkan pudarnya peran parpol saat itu. Keberadaan partai politik bahkan tidak dilaksanakan untuk mengisi jabatan di pemerintahan, melainkan untuk menjadi pendukung dari segala kebijakan presiden. Maka dapat diartikan peran partai politik hanya akan segaris dengan keputusan presiden tanpa adanya inovasi dalam pergerakan pemerintahan.
  1. Peran Militer Semakin Kuat
Perkembangan militer di Indonesia dimanfaatkan sebagai benteng pertahanan yang sekaligus menjadi dwifungsi peran pemerintahan. Kekuatan Angkatan Bersenjata pada masa ini sangat memiliki kekuasaaan yang tinggi. Bahkan lembaga pemerintahan berada di bawah komando kemiliteran. Militer telah terlibat dalam pergolakan politik domestik karena adanya dwifungsi ABRI. Hal tersebut sudah terjadi sejak tahun 1958 yang mengakibatkan perubahan signifikan bagi popularitas militer Indonesia.


Dengan diberlakukannya demokrasi terpimpin, secara otomatis lembaga pemerintahan seperti kursi DPR Gotong Royong (nama pada saat itu) dikuasai oleh kaum militer. Masuknya beberapa anggota militer menjadi wakil rakyat pada tahun 1959 tersebut menjadikan mereka juga turut serta dalam partisipasi pemerintahan. beberapa peristiwa politik terjadi pada masa ini dan mengakibatkan militer menjadi kekuatan politik yang dominan di Indonesia.
  4. Berkembangnya Paham Komunisme
Partai Komunis Indonesia mengalami perubahan dominan pada masa demokrasi terpimpin. Hal tersebut disebabkan adanya hubungan timbal balik antara presiden Soekarno dengan PKI. Hubungan tersebut terjadi karena popularitas Soekarno yang sedang naik dimanfaatkan oleh PKI sebagai daya tarik untuk memeroleh massa.
Dukungan ketika MPRS menobatkan Soekarno sebagai presiden seumur hidup pun diberikan oleh PKI. Dengan hubungan baik tersebut tidak heran apabila paham komunis menjadi berkembang di lingkungan masyarakat Indonesia.
5. Anti Kebebasan Pers
Pers berperan penting dalam sebuah negara sebagai penyalur aspirasi masyarakat untuk sistem politik yang lebih baik. Namun, pada masa demokrasi terpimpin kebebasan mengemukakan pendapat bagi insan pers mulai dibatasi oleh oknum- oknum pendukung pemerintah dalam hal ini presiden yang berkuasa. Kebijakan itu menyebabkan sebagian besar media yang biasanya memberitakan segala hal dengan terbuka mulai menutup diri bahkan tidak jarang beberapa surat kabar tidak berani beredar di masyarakat karena takut dicekal.
6. Sentralisasi Pihak Pusat
Pelaksanaan demokrasi terpimpin juga mengalami penyimpangan dalam perkembangannya sehingga menimbulkan gesekan situasi politik di Indonesia. Penyimpangan tersebut antara lain :
  • Hak dasar sebagai warga negara Indonesia tidak dianggap dan tidak ada jaminan yang kuat didalamnya
  • Kebebasan berpendapat terutama oleh pers kian dibatasi sehingga banyak media massa yang tidak berani menerbitkan pemikirannya
  • Sistem kepartaian tidak jelas kemana arahnya
  • Peran partai politik melemah seiring dengan kepentingan yang tidak sejalan
  • Adanya sentralisasi kekuasaan oleh pusat dan daerah
  • Pusat berkuasa sepenuhnya dalam sistem pemerintahansehingga muncul kesenjangan
7. Pelanggaran Prinsip Kebebasan dan Kekuasaan Kehakiman
Walaupun demikian, adanya demokrasi terpimpin memang banyak meninggalkan sejarah yang buruk seperti adanya pelanggaran prinsip kebebasan serta kehakiman di pegang oleh sang presiden dan ini bertentangan dengan peraturan yang berdasarkan isi dari UUD 1945 nomor 19. Didalam UUD tersebut jelas dinyatakan bahwa ikut campur tangan presiden boleh namun tudak selalu.
8. HAM yang kian Menurun
Karena adanya kontrol dan pengekakangan terhadap kebebasan pers maka hal ini juga berdampak terhadap penurunan HAM yang kala itu snagat buruk dalam sejarah.
9. Batas Wewenang Yang Tinggi
Anggap saja bahwa presiden kala itu memegang semua jenis kekuasaan hingga ia sangat mungkin sekali dalam melakukan beragam keputusan tanpa perlu bertanya atau keputusan siapapun.
10. Terbentuknya Negara Ekstra Konstutional
kala itu presiden telah membentuk sebuah jenis lembaga baru di luar dari kebijakan UUD. Misalnya saja dengan terbentuknya Front Nasional yang kala itu malah menjadi salah satu saran empuk pihak komunis.
11. Fungsi Presiden Diutamakan
Sperti penjelasan di awal artikel bahwa kala ini, peranan presiden sangatlah besar dimana ia bisa melakukan hal apapun kepada siapapun. Padahal hal yang seharusnya dilakukan adalah pengambilan keputiusansecara musyawarah dan terbuka. Beberapa penyimpangan lain efek dari demokrasi terpimpin yaitu:
  • Pimpinan dari lembaga tinggi negara seperti DPR atau MPR memiliki tingkatan setara dengan menteri.
  • Kasus pembubaran dari lembaga DPR oleh sang presiden hanya dikarenakan penolakan RAPBN yang mereka tolah usulannya tersebut.
  • Sedangkan di dlm UUD telah jelas di cantumkan bawha DPR tidak bisa dibubarkan oleh presiden walupun menolak RAPBN hingga yang dilakukan adalah menggunakan RAPBN yang lama.

Hasil gambar untuk ciri ciri demokrasi terpimpin

Tujuan Demokrasi Terpimpin

ADA BEBERAPA TUJUAN : 

  1. Mengembalikan keadaan politik negara yang tidak stabil sebagai warisan masa Demokrasi Parlementer atau Liberal menjadi lebih stabil
  2. Demokrasi Terpimpin meerupakan reaksi terhadap Demokrasi Parlementer atau Liberal. Hal ini disebabkan karena pada masa Demokrasi Parlementer kekuasaan presiden hanya sebatas sebagai kepala negara. Sedangkan kekuasaan pemerintah dilaksanakan oleh partai.
Hasil gambar untuk TUJUAN demokrasi terpimpin

;Latar Belakang Demokrasi Terpimpin

ADA BEBERAPA LATAR BELAKANG : 

1. Latar belakang dicetuskannya sistem demokrasi terpimpin oleh Presiden Soekarno :
  1. Dari segi keamanan nasional: Banyaknya gerakan separatis pada masa demokrasi liberal, menyebabkan ketidakstabilan negara.
  2. Dari segi perekonomian : Sering terjadinya pergantian kabinet pada masa demokrasi liberal menyebabkan program-program yang dirancang oleh kabinet tidak dapat dijalankan secara utuh, sehingga pembangunan ekonomi tersendat.
  3. Dari segi politik : Konstituante gagal dalam menyusun UUD baru untuk menggantikan UUDS 1950.
Masa Demokrasi Terpimpin yang dicetuskan oleh Presiden Soekarno diawali oleh anjuran Soekarno agar Undang-Undang yang digunakan untuk menggantikan UUDS 1950 adalah UUD 1945. Namun usulan itu menimbulkan pro dan kontra di kalangan anggota konstituante. Sebagai tindak lanjut usulannya, diadakan pemungutan suara yang diikuti oleh seluruh anggota konstituante . Pemungutan suara ini dilakukan dalam rangka mengatasi konflik yang timbul dari pro kontra akan usulan Presiden Soekarno tersebut.
Hasil pemungutan suara menunjukan bahwa :
  • 269 orang setuju untuk kembali ke UUD 1945
  • 119 orang tidak setuju untuk kembali ke UUD 1945
Melihat dari hasil voting, usulan untuk kembali ke UUD 1945 tidak dapat direalisasikan. Hal ini disebabkan oleh jumlah anggota konstituante yang menyetujui usulan tersebut tidak mencapai 2/3 bagian, seperti yang telah ditetapkan pada pasal 137 UUDS 1950.
Bertolak dari hal tersebut, Presiden Soekarno mengeluarkan sebuah dekret yang disebut Dekret Presiden 5 Juli 1959. Isi Dekret Presiden 5 Juli 1959 :
  1. Tidak berlaku kembali UUDS 1950
  2. Berlakunya kembali UUD 1945
  3. Dibubarkannya konstituante
  4. Pembentukan MPRS dan DPAS


2. Proses demokrasi parlementer pada masa orde lama dinilai telah gagal dalam menjamin stabilitas politik. Penyelenggaraan pemerintahan kacau balau dan rakyat jauh dari sejahtera. Hal ini ditandai dengan angka kemiskinan dan buta huruf yang sangat tinggi.

Beberapa penyebabnya yang diidentifikasi dalam buku-buku sejarah pemerintahan Indonesia pasca proklamasi antara lain:
  • Dominasi politik aliran yang mementingkan golongan atau partainya masing-masing.
  • Absennya anggota konstituante yang bersidang dalam menetapkan dasar negara.
  • Landasan sosial dan ekonomi rakyat yang tetap rendah
Jika kita memahami konteks politik pada zaman itu, kita akan mendapati bahwa sejatinya, perjuangan revolusi politik Indonesia masih relatif baru. Kepentingan golongan yang diutamakan oleh masing-masing partai politik menunjukkan fase demokrasi yang masih jauh dari matang.
Bung Karno secara pribadi tidak merasa senang dengan pengutamaan kepentingan golongan tersebut. Maka dikeluarkanlah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 tentang pembubaran Badan Konstituante hasil pemilu 1955 dan penggantian undang-undang dasar dari UU Sementara 1950 ke UUD 1945. Dekrit tersebut juga secara tidak langsung memberi jalan diterapkannya demokrasi terpimpin di Indonesia, dimana ketegangan antara golongan harus diredam melalui peran dominan seorang pemimpin yaitu presiden.

3. Latar Belakang Demokrasi Terpimpin

Pengertian Demokrasi Terpimpin

ADA BEBERAPA PENGERTIAN DARI DEMOKRASI TERPIMPIN : 


1. Demokrasi terpimpin adalah sebuah sistem demokrasi di mana seluruh keputusan serta pemikiran berpusat pada pemimpin negara, kala itu Presiden Soekarno. Konsep sistem Demokrasi Terpimpin pertama kali diumumkan oleh Presiden Soekarno dalam pembukaan sidang konstituante pada tanggal 10 November 1956.

2. Ketetapan MPRS No. VIII/MPRS/1965
Demokrasi terpimpin adalah kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan yang berintikan musyawarah untuk mufakat secara gotong royong diantara semua kekuatan nasional yang progresif revolusioner dengan berporoskan Nasakom”.
Kerakyatan yang dipimpin dalam definisi tersebut adalah kerakyatan yang dipimpin oleh presiden. Kita melihat kata ”Nasakom” di akhir paragraf. Saya kira, menyelidiki latar belakang adanya kata tersebut penting untuk memahami apa yang dimaksud dengan demokrasi terpimpin.
3. Suatu sistem pemerintahan dimana segala kebijakan atau keputusan yang diambil dan dijalankan berpusat kepada satu orang, yaitu pemimpin pemerintahan.

Sistem pemerintahan ini dikenal juga dengan istilah ‘terkelola’ yaitu suatu pemerintahan demokrasi dengan peningkatan otokrasi. Dengan kata lain, negara yang menganut sistem demokrasi terpimpin adalah dibawah pemerintahan penguasa tunggal.
Pada pelaksanaan sistem pemerintahan ini, warga negara atau rakyat tidak memiliki peran yang signifikan terhadap segala kebijakan yang diambil dan dijalankan oleh pemerintah melalui efektivitas teknik kinerja humas yang berkelanjutan.

 4. Demokrasi Terpimpin adalah suatu sistem pemerintahan yang keputusan dan kebijakannya dijalankan dengan berpusat pada kekuasaan yang berada pada satu orang (Pemimpin Negara).




Hasil gambar untuk demokrasi terpimpin

Berakhirnya Demokrasi Terpimpin

Berakhirnya Demokrasi terpimpin tidak terlepas dari permasalahan peristiwa kudeta G30SPKI. Peristiwa tersebut dianggap sebagai percobaan kud...